MASJID SEBAGAI PEREKAT UKHUWAH ISLAMIYAH

Spread the love
Acara pelantikan (PD DMI) Kab. Sidoarjo

Catatan Pelantikan PD DMI Kab. Sidoarjo

Oleh: Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I*

Pelantikan PD DMI Kab. Sidoarjo

Hari ini (Sabtu, 6/8) saya berkesempatan hadir pada pelantikan Pimpinan Daerah Dewan Masjid Indonesia (PD DMI) Kab. Sidoarjo Periode 2021-2026 di Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Saya hadir selaku Anggota Majelis Pakar mendampingi oara guru dan senior seperti Dr. KH. M. Sholeh Qosim, H. Arwani dan Ustdz H. Chudlori. Sebagai ketua Ustdz. H. Imam Mukozali. Sebuah kehormatan bagi saya yang hanya takmir mushalla di kampung dipercaya di posisi ini.

Saya juga bisa bersilaturrahim dengan sesepuh Balai Diklat Keagamaan Surabaya, tempat tugas saya KH. Roziqi. Saya sempat ditanya oleh beliau. “Lho, sampean tinggal di Sidoarjo ta”, tanya beliau. “Gih Yai”, jawab saya. Tahunya beliau saya ini dari Gresik dan memang asli Gresik.

Dalam kesempatan itu Ketua Pimpinan Wilayah DMI Jawa Timur KH. Roziqi menekan tiga hal penting peran masjid. Menurut mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur masjid harus menjadi pusat keagamaan, pendidikan dan optimalisasi ekonomi.

Sementara itu, senada dengan KH. Roziqi, Bupati Sidoarjo H. Muhdlor Ali perlunya memperkuat masjid tidak saja sebagai sarana ritual, tapi semua itu dimulai dari masjid. Mulai dari kesehatan, pendidikan bahkan sosial budaya. Gus Muhdlor juga menyampaikan telah menginstruksikan camat agar mendorong masjid-masjid menjadi perkembangan budaya. Beliau menyontohkan bagaimana dimassifkannya Ishari di masjid. Menurutnya, dengan menikmati seni orang tidak mudah panas.

Selain itu, masjid juga bisa dikembangkan menjadi pusat aktifitas berolahraga. Pencak silat misalnya, bisa digelar di area sekitar masjid. Ini juga sekaligus berfungsi sebagai ‘pengamanan’ sarana masjid.

Yang tidak kalah menarik, masjid yang ideal menurutnya harus menjadi rahmatan lil’alamin, bukan (sekadar) rahmatan lilmuslimin. Bagi saya selaku Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama menjadi menarik. Sebab, ini sejalan dengan gencarnya pemerintah mencanangkan program Penguatan Moderasi Beragama (PMB).

Sudah jamak ditemukan, di beberapa daerah masih dijumpai kasus intoleransi (beribadah) justru terjadi di masjid. Artinya intoleransi banyak dijumpai di kalangan sesama agama, bukan antar umat beragama. Saya juga pernah mengalami hal itu. Di sebuah masjid yang kala itu masih banyak ‘dikuasai’ orang berpaham keagamaan eksklusif, ketika wiridan keras tiba-tiba volume pengeras dikecilkan. Tak ayal, para jamaah melihat hal itu naik pitam. Hampir saja terjadi adu fisik.

Itu contoh kecil nyata kasus intoleransi terjadi bukan antar umat beragama, tapi intern agama. Jika merujuk latar pentingnya PMB, termasuk di ranah tempat ibadah hal itu dipicu adanya klaim kebenaran subyektif dan sepihak. Yang kedua, beragama hanya dilihat dari sisi perbedaan (ikhtilaf) bukan kesamaannya. Dan, perbedaan itu justru dipicu dari persoalan cabang (furu’iyah), bukan pokok (ushuliyah). Ketiga, masih kuatnya benturan pandangan antara beragama secara tekstual legal formal dan esensial substantif.

Di antara indikator dan kata kunci PMB yang bisa dikaitkan dengan ukhuwah Islamiyah berbasis kemasjidan adalah toleransi, hormati tradisi, kemaslahatan umum dan masih ada lagi yang lain seperti kemanusiaan, kerjasama dan keadilan.

Sambutan Bupati sidoarjo dalam pelantikan (PD DMI) Kab. Sidoarjo

Prinsip penguatan ukhuwah

Maka, melalui DMI bisa dilakukan penguatan ukhuwah Islamiyah berbasis kemasjidan atau dengan kata lain, masjid sebagai perekat ukhuwah. Prinsip yang bisa dilakukan antara lain, pertama, kedepankan kesamaan dan persempit perbedaan. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan akidah dan praktik ibadah yang bersifat ushuliyah.

Kedua, kompromis dan akomodatif. Di beberapa masjid sudah banyak dilakukan terutama di masjid yang jamaahnya heterogen. Misalnya, di Masjid Al Muttaqin Tawang Sari Permai dan Masjid Luhur Kebraon. Keduanya sudah menerapkan prinsip akomodatif dan kompromis. Tarawih Delapan tapi dengan bilal dan doa tarawih dipandu imam misalnya.

Ketiga, harus realistis dan jauhkan egosentris. Ini tentu melihat basis masjidnya. Di masjid tempat saya bertugas khutbah, sudah dilakukan. Tepatnya masjid Baiturrohim Medaeng. Masjid ini dulu dirintis kyai Khamim Syahid, Rois Syuriah NU di masanya. Ketuanya dzurriyah almaghfurlah, bahkan sebelumnya ketua takmir adalah putra Kyai Khamim yang aktifis Muhammadiyah. Tetapi, meskipun beliau aktifis Muhammadiya, selama menjadi takmir, sampai akhir hayatnya model amaliah masjid menggunakan model Aswaja an-Nahdliyah karena basis jamaah adalah kaum nahdliyin. H

Di Mushalla Al Falah Bandar Sepanjang bisa saya contohkan. Saya melayani jamaah yang heterogen. Selain nahdliyin yamg mayoritas, ada Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Syiah, kelompok Ikhwan, dan terkadang salafi. Meskipun berbeda latar, mereka ikut mayoritas dan saling menghormati perbedaan. Idul Adha kemarin, meski sakat id berbeda hari, tapi qurban bisa kompak di hari yang ditetapkan pemerintah.

Maka, dalam hal ini Dewan Masjid Indonesia harus berdiri di kaki yang netral dengan menggunakan teori insider out sider. Kapan posisi aktifis ormas dan kapan posisi DMI. DMI harus bisa menjadi dinamisator dan mediator. Dinamisator artinya menggerakkan tiga pusat keagamaan, pendidikan dan sosial budaya. Mediator artinya bersama lembaga terkait menjadi penengah jika terjadi konflik urusan kemasjidan.

dr. H. Sholehuddin hadir dalam acara pelantikan (PD DMI) Kab. Sidoarjo

Program aksi

Sebagai tindakan preventif, program aksi yang bisa dilakukan, pertama, penguatan moderasi beragama yang melibatkan para mengurus takmir masjid  lintas ormas. Ini yang pernah saya lakukan di Yayasan Masjid Al Fattah Surabaya. Saya bersama Polrestabes memberikan penguatan wawasan kebangsaan dan moderasi beragama.

Kedua, pertukaran da’i moderat dan remas. pelibatan antar tokoh ormas dan pemuda yang benar-benar moderat dalam kajian, bahkan khutbah jumat penting dilakukan. Ini bisa diawali dari masjid-masjid di bawah dua Ormas. Di Ponorogo ada sebuah masjid berbasis Muhammadiyah, tapi petugas kajian ataupun khutbah Jumat melibatkan Syuriah PCNU Kab. Ponorogo. Saya dulu juga pernah gantikan kyai saya yang Nahdliyin khutbah di Masjid Al Manar PC Muhammadiyah Sepanjang.

Mungkin ini agak kontroversi bagi sebagian kalangan. Tapi bagi saya, di tengah-tengah benturan praktik agama yang formalistik dan substantif diperlukan komunikasi antara tokoh agama yang moderat.

Ketiga, Festival budaya dan seni islami. Ini juga merespon apa yang diinginkan Gus Bupati, bahwa masjid juga bisa digunakan sebagai pusat pengembangan seni budaya. Misalnya, pentas hadrah dan banjari dipadu nasyid atau Pencak Silat dan Tapak Suci. Lagu ya lal wathan karya Kyai Wahab bersanding dengan Sang Surya atau Allahu Akbar karya Buya Hamka. Ini keren menurut saya.

Akhirnya, saya optimis DMI akan mampu menjadikan masjid sebagai perekat ukhuwah Islamiyah. Selamat atas pelantikan DP DMI Kabupaten Sidoarjo 2021-2026.

  • Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Anggota Majelis Pakar Dewan Masjid Indonesia Sidoarjo, Ketua PC ISNU Sidoarjo dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sidoarjo. Saat ini mendapat tugas sebagai Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama (IN PMB) Pokja PMB Kemenag RI.
Bupati Sidoarjo dalam acara pelantikan (PD DMI) Kab. Sidoarjo

Baca Juga : Memaknai Tahun Baru Hijriah di Era Tranformasi Digital

Mungkin Anda juga menyukai

2 Respon

  1. Avatar gate.io berkata:

    I may need your help. I tried many ways but couldn’t solve it, but after reading your article, I think you have a way to help me. I’m looking forward for your reply. Thanks.

  1. 08/07/2022

    […] Baca Juga : Pelantikan Pimpinan Daerah Dewan Masjid Indonesia (PD DMI) Kab. Sidoarjo Periode 2021-2026 […]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *