HIJRAH MENUJU ‘KEWARASAN’ SOSIAL

Spread the love

Memaknai Tahun Baru Hijriah di Era Tranformasi Digital

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara BDK Surabaya, Dosen IAI Al Khoziny, INAIFAS, dan Unusida, serta Ketua PC ISNU Sidoarjo. Saat ini mendapatkan tugas sebagai Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama (PMB) Pokja PMB Kemenag RI.

Sholehuddin*

Salah satu ‘karya’ dalam sejarah peradaban yang monumental Sayyidina Umar adalah penetapan penanggalan Islam dari hijrah Nabi Saw. Bukan karena tanpa alasan, Sayyidina Umar yang dikenal visoner menilai hijrah Nabi memiliki daya spirit yang luar biasa. Sebab, di Yasrib atau Al Madinatul Munawwarah inilah Nabi Saw. melakukan percepatan dalam membangun peradaban.

Para sejarawan mencatat empat prestasi yang ditorehkan Nabi di Madinah. Pertama, Masjid sebagai pusat penguatan aqidah, syariah dan akhlaq. Kedua menyatukan dua kelompok besar umat Islam, muhajirin dan Ansar. Ketiga, membuat perjanjian atau ‘Piagam Madinah’. Keempat, membangun sendi sendi politik, ekonomi dan sosial berbasis nilai-nilai Islam.

Di Madinah, Nabi Saw meletakkan fondasi memnangun masyarakat madani (social society), yakni masyarakat yang berperadaban, bukan kebiadaban. Di Madinah dua komunitas penduduk asli yang direpresentasikan kaum Ansar bisa berdampingan, tolong menolong dan kerjasama dengan pendatang (Muhajirin).

Tidak cukup di situ, di tengah heteroginitas Muslim, Yahudi dan Nasrani mereka bisa disatukan. Hukum ditegakkan atas dasar keadilan tanpa pandang bulu. Nabi pernah menyatakan, jika yang melakukan tindakan pencurian putrinya, maka beliau sendiri yang akan memotong tangannnya.

Dalam kehidupan sosial, semua diperlakukan sama rata sama rasa. Ada kebiasaan Nabi terhadap seorang Yahudi tua, yakni memberi makan. Amalan itu beliau lakukan hingga wafatnya. Maka, jika periode Makkah Nabi fokus pada penguatan aqidah. Di Madinah Nabi menitikberatkan pada penataan kehidupan sosial melalui tata kelola politik kenegaraan (siyasah), ekonomi (iqtishadiyah) dan budaya (tsaqafah).

Inilah ‘kewarasan sosial’ yang dibangun Nabi Saw di Madinah. Kewarasan berasal dari kata “waras” yang dimaknai sehat jasmani dan rohani. Sosial yang berarti proses interaksi, perilaku dan saling memengaruhi dalam kehidupan neransyarakat, beragama dan bernegara. Kewarasan sosial berarti sikap jasmaniah dan ruhaniah yang harus dijaga dalam berinteraksi, bersikap dan memengaruhi di ranah publik sesuai norma yang berlaku.

Dalam interaksi antar indifidu dan masyarakat, berperilaku dan saling memengaruhi harus dilandasi nilai sosial yang dibingkai nilai-nilai uniiversal. Nilai universal ini sejatinya sebagai perwujudan dari nilai-nilai Quran. Artinya, bahwa kewarasan sosial yang dimaksud juga sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai kitab suci.

Baca Juga : APWI tidak sekadar mengangkat derajat (widyaiswara)

Tantangan di Era Transformasi Digital

Dalam konteks kehidupan saat ini, kewarasan sosial sangat penting digaungkan. Seperti beberapa hari terakhir dunia jagat maya dihebohkan dengan fenomena Citayem Fashion Week. Hampir semua perilaku, mulai cara berjalan ‘sang model’, hingga saat diam yang tidak bisa ‘diam’, ditiru oleh kreator konten media sosial. Banyak para tokoh politik, artis ikut-ikutan menjadi bagiannya. Di beberapa daerah juga ingin mengikuti jejaknya.

Ini hanya satu fenomena sosial yang cepat tersebar di era digital. Belum lagi perpecahan antara kubu ‘kampret’ dan ‘cebong’, antara ‘wohabisme’ dan ‘monaslimin’. Antara kaum ‘muhajirin dan ‘murtadin’ yang terus menghiasi dunia maya.

Sejatinya dari sisi kreatifitas anak bangsa, Citayem perlu diapresiasi. Tetapi, bagaimanapun kreatifitas tidak boleh melanggar moralitas apalagi sampai mengganggu kepentingan umum. Kewarasan sosial dalam hal ini tetap harus dijaga.

Cepat viralnya sebuah fenomena sosial apapun tidak bisa dihindarkan di tengah derasnya arus tranformasi digital. Maka, kehadiran media sosial di dalam genggaman ratusan juta penduduk Indonesia harus dimanfaatkan secara positif. Dunia maya harus dikuasai oleh oleh orang-orang yang memiliki ‘kewarasan’ sosial.

Tahun baru Islam yang dalam sejarah terinspirasi dari hijrah Nabi dan upaya membangun peradaban manusia harus dijadikan sebagai momentum hijrah menuju kewarasan sosial. Ini relevan dengan makna hijrah secara kontekstual yaitu ‘farraqat bainal haqqi wal batil’.

Sharing, Saring, Sarung dan ‘Surung’  (4S): Sebuah tawaran

Sebagai upaya hijrah menuju kewarasan sosial di era tranformasi digital, ada model 4S yang bisa dikembangkan. Pertama adalah “Sharing”, artinya menyebarkan atau menerima sebaran. Kedua, Saring, artinya memfilter informasi yang diterima. Ketiga Sarung, artinya membingkai informasi sesuai norma agama. Keempat “Surung”, artinya mendorong pengguna membuat konten positif dan tidak profokatif.

Model 4S ini bersifat sistemik, tidak harus sistematis. Jika kedadaran 4S ini bisa hadir di ranah publik, saya yakin kewarasan sosial akan tercapai. Selamat Tahun Baru Islam 1444 H. Semoga tahun ini lebih baik dari tahun kemarin.

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara BDK Surabaya, Dosen IAI Al Khoziny, INAIFAS, dan Unusida, serta Ketua PC ISNU Sidoarjo. Saat ini mendapatkan tugas sebagai Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama (PMB) Pokja PMB Kemenag RI.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan