Hong Ulun Basuki Langgeng: Sapaan Khas Suku Tengger Yang Sarat Nilai Universal

Spread the love

Sholehuddin*
“Hong Ulun Basuki Langgeng”, Ucap saya setelah mengucapkan salam ala Muslim dan Hindu. Para peserta yang sebagian besar warga suku Tengger menjawab, “Langgeng Basuki”, jawab mereka. Itulah sapaan saya pada saat memulai kegiatan Pelatihan Penggerak Modrasi Beragama di Pesantren Darussholihin Boto Lumbamg Kabupaten Probolinggo pada Pebruari 2024 lalu. tersebut. Lokasi desa ini berada di kaki Gunung Bromo.

Bromo identik dengan suku Tengger dan Hindu. Berdasarkan wawancara dengan beberapa peserta, Suku Tengger meskipun mayoritas penganut Hindu, tapi sebagian ada yang muslim, baik sejak lahir maupun karena perkawinan. Menurut mereka, tingkat toleransi masyarakat Tengger sangat tinggi. Antar umat beragama saling membantu. Misalnya, jika umat muslim menjalankan salat Idul Fitri dan Adha, para pecalang membantu mengamankan. Begitu pula sebaliknya, jika perayaan agama Hindu atau Tradisi lokal ada beberapa yang dijaga kaum muslim. Mereka sudah biasa saling berkunjung pada hari raya meski beda agama.

Petang itu saya bersama teman-teman fasilitator dan panitia pelatihan Moderasi Beragama didampingi Bu Melinda dan Bu Esti Hartiwi, peserta pelatihan yang asli suku Tengger berniat ke Bromo. Kami berlima naik kendaraan pribadi menuju ke titik lokasi vieu Lava. Karena didampingi warga setempat perjalanan ke lokasi sangat mudah. Di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan lereng bukit yang ditanami sayur produk lokal. Penduduk Tengger benar-benar menyatu dengan alam. Bu esti juga pernah membawa produk pertanian kentang dan lombok terong ke pelatihan. Sepulang dari Bromo, rombongna kecil kami diajak mampir ke rumah Bu Linda yang berada di nol jalan raya menuju puncak Bromo dari Jalur Probolinggo. Saya merasakan aura “nyumanggakno” masyarakat Tengger.

Praktik baik moderasi beragama masyarakat Tengger dengan toleransinya yang sangat tinggi dan humanisme tidak lepas dari filosofi “Hong Ulun Basuki”. Artinya, Semoga Tuhan senantiasa memberikan keselamatan dan kedamaian. Ungkapan ini selain sebagai sapaan di acara seremonial, juga sebagai ungkapan selamat datang kepada siapapun yang datang masyarakat Tengger.

Hong Ulun Basuki Langgeng merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Tengger dalam membumikan nilai-nilai kemanusiaan di tengah kemajemukan. Sapaan ini sejatinya lebih pada tradisi lokal ketimbang agama. Artinya, sapaan ini bukan semata untuk masyarakat Tengger yang mayoritas pemeluk Hindu ansih tapi juga untuk semua manusia. Siapapun berhak mendapatkan kedamaian. Apapun agamanya, apapun sukunya, bagi masyarakat Tengger adalah saudara. Itulah sejatinya nilai universal yang dimaksud dalam “Hong Ulun Basuki Langgeng”.

Nilai universal adalah nilai yang bersifat umum, yang bisa diterima oleh semua manusia. Tidak memandang latar agama, suku, bangsa maupun ras. Sapaan ini bisa mengakrabkan semua golongan, baik penduduk asli maupun pendatang atau yang bukan suku asli.

Nilai universal dalam perspektif Moderasi Beragama merupakan pintu masuk tataran sumber yang bebas kepentingan. Sebagai pokok ajaran agama, nilai ini harus diyakini dan diamalkan oleh setiap umat beragama karena bersifat pokok (ushuli), bukan lagi cabang (furu’i). Ibarat ketika kita menyapa lalu pihak yang disapa tidak merespon, pasti kita tersinggung. Ajaran humanisme agama, memanusiakan manusia atau lebih dikenal dengan kemanusiaan adalah sebuah keniscayaan dalam membina rasa damai di tengah keberagaman.

  • Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan INAS Penguatan Moderasi Beragama Kemenag RI.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan