KH. MOH. FUAD: BUKAN SEKADAR GURU QIRO’AH

Spread the love

Beberapa waktu lalu saya ditakdir menjalankan tugas qiro’ah sebagai bentuk hormat Gurunda Romo Lutfi. Beliau menikahkan adik ipar beliau Kyai Muhsin. Sepulang acara saya langsung teringat guru qiro’ah saya Alm. Ustdz. Muhammad Fuad. Maqra’ yang saya baca saat itu juga ‘warisan ilmu’ dari almarhum. Saya langsung menuju ndalem beliau di Kedurus Sawah Gede. Meski semula ragu Bu Nyai Fuad ada di nDalem atau tidak, alhamdulillah ternyata beliau ada.

Saya dapat banyak cerita dari Bu. Nyai Fuad sebelum dan setelah wafatnya almarhum. Sebelumnya beliau tidak pernah sakit atau ngeluh sakit, tapi kala itu Allah menakdirkan sakit yang luar biasa. Sebelum wafat almarhum sempat menjadi official Kafilah Jawa Timur pada Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional di Padang beberapa tahun yang lalu. Hingga beliau menghadap Sang pemilik hidup dan mati pada saat banyak orang yang masih membutuhkan bimbingannya.

Saya sempat cerita ke Bu. Nyai, pada 2019 atau setahun sebelum wafat, saya ditakdir bisa bertemu dengan kyai Fuad di Masjid Al Bahri Pasmar Gedangan Sidoarjo. Saat itu jadwal saya khutbah di masjid ini. Almarhum ditunjuk sebagai imam Shalat Jumat. Selama sekian tahun khutbah di masjid kompleks marinir ini belum pernah bertemu beliau. Baru sekali itu bertemu, dan itu menjadi pertemuan terakhir saya dengan almarhum.

Dr. H. Sholehuddin M.Pd.I saat bersama Alm KH. Muh Fuad (Guru Qiro'ah sewaktu di kampung halaman)

Dari ndalem, saya langsung menuju tempat peristirahatan terakhir di TPU Babat Jerawat Surabaya. Dengan berbekal lokasi Blok C 11 saya meluncur. Ternyata tidak mudah mencari lokasi makam almarhum. Deretan ratusan makam bikin pusing juga, apa lagi tulisan pusara almarhum tertutup tanaman bunga.

Hampir setengah jam saya cari sampai saya baca fatihah tak henti-henti. Alhamdulillah setelah keliling dari ujung barat ke timur, dari utara ke selatan, akhirnya ketemu juga. Posisi makam ternyata di pinggir jalan paving Blok C 11 paling utara.

Dr. H. Sholehuddin M.Pd.I berada di makam KH. Muh Fuad (Guru Qiro'ah) TPU Babat Jerawat Surabaya
Di makam KH.Muh Fuad TPU Babat Jerawat Surabaya

Belajar qiro’ah dari masjid ke mushalla

Baca Juga : MADRASAH WARNA WARNI: GAMBARAN REALITA KEHIDUPAN


Semula saya tidak mengenal Ustd. Fuad, panggilan saya ke beliau. Kali pertama saya diajak ustdz saya di pondok H. Chudlori (sekarang Kabag Kesra pemkab Sidoarjo). Dengan dibonceng motor Yamaha 1980 (yang kelak pindah tangan ke saya saat itu) kami berdua meluncur ke Masjid di Kedurus.

Tidak lama saat saya ikut pembinaan qiro’ah di masjid ini, lokasi digeser ke sebuah mushalla di Kedurus Sawah Gede, dekat ndalem almarhum. Di sinilah saya mulai ikut pembinaan rutin. Target saya bukan juara, tapi mengembangkan bakat sejak kecil yang sudah tumbuh meski dengan segala keterbatasan. Mungkin saya kategori lambat dalam nemahami irama. Di saat belajar ke ibu saya dan beberapa guru baru sebatas bisa menirukan, belum paham betul perbedaan antar lagu.

Dalam pembinaan saya juga bertemu para qori’ mulai yang sekadar pecinta quran lagu (muhibbin) hingga qori’ berprestasi baik tingkat Jawa Timur maupun nasional, bahkan ada yang tembus internasional. Biasanya para qori’ di mushalla ini hanya ikut pendalaman dan ketika mau musabaqah, tidak ikut yang pembinaan rutin.

Saya termasuk yang tengah-tengah (prestasi amatir). Terakhir saya ikut lomba antara anggota dan keluarga Tentara Nasional (TNI) dan Polri di Garnisun Tetap III Surabaya tahun 2000. Kala itu di antara dewan jurinya juga almarhum Ustd. H. Moh. Fuad. Tidak menyangka saya dapat Juara 1.

Bukan sekadar Guru Qiro’ah

Baca Juga : DARI PENSIUN HINGGA ADA YANG WAFAT: CERITA SELAMA PANDEMI DI MASJID IMIGRASI

Selama berguru kepada almarhum Kyai Fuad atau Ustdz Fuad, saya mendapatkan lebih dari sekadar ilmu qiro’ah, tapi juga ilmu ruhani. Ketika sowan ke ndalem, biasanya beliau siram-siram bunga di teras rumah. “Oh awakmu Din, ijen ae, teko omah ta”. Itulah pertanyaan yang selalu saya ingat dari almarhum.

Makam KH. Muh Fuad (Guru Qiro'ah dari Sholehuddin) TPU Babat Jerawat Surabaya Jawa Timur
Makam KH.Muh Fuad TPU Babat Jerawat Surabaya

Beliau sering cerita, jika beliau berharap tidak diwafatkan dulu karena merasa belum banyak bekal. Betapa seorang guru qiro’ah yang sudah banyak menularkan ilmu kepada para kader dan muridnya masih merasa kurang bekal, bagaimana dengan kita yang belum punya bekal apa-apa.


Ada diskusi yang cukup menarik. Saya pernah bertanya, “Tadz jenengan kok tidak pernah saya dengar ceramah, padahal segi keilmuan sudah lebih dari cukup”. Beliau jawab, “Aku moh ceramah. Aku tak ngopeni Quran ae, wis ono bagiane dewe- dewe”, jawab Ustdz. Fuad. Saya pun menyela, “Lha kulo pun kadung dospundi”. “Awakmu ojo niru aku. Terusno ceramah”. Dari situlah, saya merasa lega sudah dapat ijin untuk terus berdakwah dengan ceramah selain baca Quran.

Dalam kaitannya ilmu Qira’ah, penekanan beliau tidak sekadar baca, tapi juga dirasakan atau dzauq. Itu yang sering disampaikan. Banyak orang baca Quran cuma di kerongkongan sehingga hampa karena tidak dirasakan. Manfaat yang saya dapatkan hingga kini sebagai jariyah beliau, ilmu lagu qira’ah saya gunakan untuk ngimami shalat dan baca ayat pada saat ceramah.

Itulah sekelumit cerita dan testimoni seorang murid qiraah dari pembina qiraah yang tegas, ikhlas dan adil serta disiplin, Alm. KH. Muhammad Fuad. Wafatnya beliau sangat dirasakan oleh para qari’ qari’ah yang pernah beliau bina. Lahul Fatihah.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan