Menebar Empati, Memperkuat Silaturrahim, dan Bertekad Menjadi Teladan

Spread the love

Sholehuddin*

Itulah, tema Maulid Nabi di Pangkalan Marinir (Lanmar) Jl. Opak Surabaya pada 9/10. Tema ini relevan di tengah tantangan kebangsaan, keagamaan dan kemanusiaan terutama di tahun politik. Sudah menjadi trend polarisasi dan perpecahan jelang hajatan lima tahunan itu. Ada tiga sebab perpecahan dan permusuhan, yakni penghakiman, kebencian dan ketakutan (kecurigaan). Ini yang disebut Tiga Suara (Three Voice)

Kasus-kasus kekerasan verbal maupun non verbal di tengah masyarakat sebagai efek penghakiman yang prematur. Orang yang suka menyalahkan dengan memaksakan tafsir keagamaan karena minimnya literasi. “Lungone kurang adoh, ngopine kurang kenthel, dan nyangkru’e kurang suweh”.

Kedua, rasa sinis atau kebencian juga menjadi pemicu perpecahan. Kebencian akan menutupi kebaikan. Berapa pun kebaikan seseorang akam tertutupi manakala hati dibalut kebencian. Ketiga rasa takut dan curiga. Secara manusiawi kita selalu ada kecurigaan kepada orang baru di luar kita. Mereka seolah-olah menjadi ancaman, baik karir maupun jabatan. Ini pun bisa merusak hubungan personal.

Untuk mengeliminir tiga suara tersebut diperlukan tiga sikap keterbukaan (Three open), pertama membuka pola pikir (Open mind). Perbanyak belajar dan pengalaman akan membuka wawasan dan cara pandang. Nabi kali pertama menerima wahyu bukan perintah salat, tetapi membaca. Membaca ayat ‘qauliah’ maupun ‘kauniah.

Dengan banyak membaca, maka makin banyak pembanding. Jika ada hal apapun yang aneh dan beda, tidak mudah reaktif, apa lagi menghakimi. Sikap open mind akan menjadikan diri kita lebih bijak menghadapi situasi apapun. Ini yang dicontohkan Nabi. Ketika membangun ka’bah, nabi tidak ingin ditinggikan, tetapi menyadari tradisi Mekah saat itu, nabi mengalah dan menerima pandangan masyarakat Mekah.

Kedua, membuka hati (open heart). Membuka hati ini akan mengarah pada sisi kemanusiaan. Melihat orang bukan dari sisi negatifnya, tapi positifnya. Seburuk apapun pasti ada baiknya. Jika ada yang beda, bukan bedanya yang ditonjolkan, tapi kesamaan sebagai ciptaan Tuhan.

Cara yang bisa dilakukan jika mengikuti Nabi dengan banyak silaturrahim. Dengan silaturrahim, kita tahu apa adanya. Ini yang menjadi esensi dari ‘ummatan wasathan litakunu syuhada’ ‘alannas’. Syuhada ini dimaknai saling menjadi saksi dengan hadirnya kita di tengah-tengah kehidupan manisia. Maka silaturrahim utulah cara nabi menjadi ‘Syuhada’ alannas’ tanpa melihat latar agama, suku dan ras. Nabi juga menyontohkan hingga akhir hayat beliau sering menyuapi laki-laki tua dan buta yang Yahudi.

Ketiga, tekad dan keberanian (open will). Berani berbuat baik dan menjadi saksi akan kebaikan bersama orang lain. Jika orang lain yang sudah kita baiki berbuat jahat, maka itu bukan urusan kita tapi urusan dia dengan Tuhan. Tugas kita hanyalah berbuat baik, apapun balasannya. Maka, harus yakin balasan di akhirat itu pasti, siapa menabur benih, dia yang memetiknya.

Nabi menyontohkan, setiap hari saat melewati depan orang kafir Quraisy, selalu dilempari kotoran. Sampai pada satu hari tidak ada yang membuang kotoran, lalu beliau menanyakannya, ternyata orang tersebut sakit. Tidak menunda waktu, saat itu juga nabi menjenguknya.

Tiga suara dan tiga keterbukaan merupakan cara menebar empati dan bagaimana menghadapi tantangannya. Dengan silaturrahim empati akan tumbuh, permusuhan dan perpecahan bisa dihindari. Perbedaan apapun termasuk dalam beragama ataupun pandangan politik adalah bagian dari rahmat. Dengan demikian, hadirnya kita akan menjadi teladan dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.

*Dr. H. Sholehuudin, M.Pd.I adalah widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama (PMB). Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sidoarjo.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan