Moderasi Beragama di Tanah Papua

Spread the love

Sholehuddin *
Kegiatan Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama (PMB) bagi ASN Kemenag Kab. Kota Sorong sudah berlalu. Namun kesan, keunikan dan cerita kota ini tidak bisa berlalu begitu saja. Kota dan Kab. Sorong, terletak di Propinsi Papua Barat Daya. Secara demografi penduduk Kota Sorong khususnya berjumlah 282.146. Pemeluk Kristen 45,15%, Islam 45,0%, Katolik 7,55 %, Budha 0,19%, Hindu 0,09%, lain-lain 0,01%.

Selama membersamai ada pengalaman berharga yang penting untuk dieksplor. Pertama, ungkapan salam bahasa lokal. Di Sorong ada bahasa lokal Suku Mooi. Salah satunya adalah ucapan salam ‘Dewobok’ (Selamat Siang).

Ungkapan ini merupakan sapaan keakraban dengan masyarakat lokal. Sapaan sebagai bentuk penghormatan bagi masyarakat Suku Mooi. Siapa pun yang menyapa dengan sapaan ini, tidak melihat agama dan dari suku apa akan diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Sapaan ini bisa menjadi ‘titik temu’ di antara perbedaan agama, suku dan ras. Salah satu indikator Moderasi Beragama adalah penghormatan terhadap tradisi. Dewobok bisa menjadi salah satu instrumen PMB.

Kedua, lagu Tanah Papua. Lagu ini sempat disenandungkan pada saat penutupan Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama. Lagu ini menggambarkan potensi sumber daya alam dan keindahan pulau Papua. Lagu ini juga menjadi pemersatu bagi siapa saja yang tinggal di pulau ini. Tidak melihat latar dan asal. Inilah titik temu masyarakat Papua yang heterogen.

Ketiga, terbuka. Masyarakat Papua sangat terbuka kepada siapa pun. Agama tidak menjadi soal. Salah satu peserta ada seorang anak Ketua Suku di daerahnya. Dia ini berdarah campuran Manado dan Papua. Dia pemeluk Katolik beristrikan wanita muslimah asal Cirebon. Anaknya sekarang masih menempuh pendidikan di pesantren. Meskipun beliau seorang tokoh agama Katolik tidak mempermasalahkan anaknya memeluk Islam mengikuti agama ibunya.

Keterbukaan masyarakat Papua tidak terlepas dari budaya ‘Satu Tungku Tiga Batu’ yaitu satu rumah dihuni berbagai pemeluk agama. Karena itu tak heran jika selama orientasi, mereka tampak larut di tengah perbedaan. Salah satu ciri moderat adalah terbuka atau inklusif. Inklusif adalah sikap terbuka dan menerima hal-hal yang berasal dari luar. Sikap ini penting untuk menjauhkan diri dari rasa superior intoletan yang ajan berujung pada kekerasan fisik

Keempat. Kekuatan ormas keagamaan dan Paguyupan Daerah asal. Ormas keagamaan tergolong maju pesat. Mereka juga sangat guyup. Saudara Muhammadiyah selain memiliki aset masjid, panti asuhan juga lembaga pendidikan. Bahkan sudah memiliki perguruan tinggi. Nahdlatul Ulama (NU) secara struktur juga mengelola beberapa sekolah dan madrasah Ma’arif. Itu belum termasuk pesantren yang dikelola secara kultur. Uniknya, mereka bisa berkolaborasi dalam beberapa hal. Misalnya, pengurusan sertifikat tanah aset Muhammadiyah dibantu sekretaris Pengurus Cabang NU setempat.

Informasi yang saya terima pada saat perjalanan ke Kantor PCNU bersama Ketua PCNU Kab. Sorong, NU dan Muhammadiyah di Sorong hampir tidak ada sekat. Mereka lebih secara emosional sesama muslim. Jadi pengelolaan tempat ibadah dan lembaga pendidikan tidak menjadi persoalan dilakukan bersama-sama. Baru setelah ada penataan aset masing masing organisasi identitas sedikit tampak meski dalam praktik mereka tetap membaur. Contohnya, ada sebuah masjid nasional, amaliah dan tradisi sudah ala NU namun bersebelahan dengan panti asuhan Muhammadiyah.

Begitu pula dengan kehadiran paguyupan suku asal atau daerah asal. Di Sorong terdapat kawasan permukiman seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jogja. Ada pula ikatan masyarakat Tulungagung, Bugis dan sebagainya. Meski ada kawasan, tetapi kehidupan masyarakatnya bisa hidup berdampingan. Jika ada masalah warga, para pemimpin adat dan paguyupan yang tampil membantu aparat melalui pendekatan kultural.

Dalam strategi pendekatan sistem untuk perubahan berkelanjutan, hadirnya kekuatan Organisasi Sosial Kemasyarakatan (Power of Civil Society Organization) melalui ormas sangat penting. Masyarakat akar rumput (gressroot) sebagaimana masyarakat Papua itu apa kata pemimpinnya. Kepala Suku memiliki peran penting dalam menciptakan rasa damai. Diperkuat landasan teologi agama dan kebijakan publik secara terpadu akan memberikan kekuatan tersendiri dalam melakukan gerakan moderasi beragama.

  • Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan