Moderasi Beragama Merawat Indonesia:Refleksi HAB Ke 78 Kementerian Agama

Spread the love

Sholehuddin*

Negara bisa kuat apakah karena tentara yang hebat dan peralatan militer yang canggih semata, mengapa negara bisa hancur, dan bagaimana dengan Indonesia?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut jamak terlontar dalam materi Wawasan Kebangsaan. Jika tidak paham ‘maqsudul a’zham’ (tujuan utama) dari materi ini, maka biasanya proses pelatihan (pembelajaran) terjebak pada konsep negara dan bangsa. Padahal, sejatinya materi ini diarahkan pada peran Kementerian Agama dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lho, apa hubungannya?

Belajar dari sejarah
Di belahan dunia ada beberapa negara yang sebelumnya menyatu (integrasi) kemudian mengalami pemisahan (disintegrasi). Sebut saja Uni Soviet yang kemudian pecah menjadi beberapa negara seperti Rusia dan negara- negara kecil lainnya. Pakistan sebelumnya bagian dari India.

Sejarah juga telah mencatat, Indonesia pernah mengalami dinamika sistem kenegaraan. Misalnya, pernah berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian kembali menjadi negara kesatuan. Fakta lain juga perlu dicatat pernah lepas satu propinsi dari NKRI yakni Timor Timor yang dalam referendum berpisah menjadi Negara Timor Leste.

Fakta sejarah itu menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Negara yang dulunya besar dan kuat bisa hancur mengalami disintegrasi. Bukan karena tentara yang lemah, tapi karena tidak mampu mengelola perbedaan. Krisis ekonomi sejatinya salah satu instrumen selain politik dan faktor lainnya. Pada akhirnya perbedaan suku, ras dan agama yang sering menjadi santapan empuk memporak porandakan keutuhan bangsa.

Meskipun mengalami dinamika politik kebangsaan yang berliku, sampai saat ini NKRI masih terjaga dengan baik. Bagi Indonesia kemajemukan budaya, suku, ras dan agama bukan menjadi penghalang, tetapi sebuah tantangan. Indonesia masih bertahan karena mampu mengelola perbedaan. Sebagai bangsa yang religius, mengelola kebinekaan sangat ampuh menggunakan bahasa agama. Saya sering melontarkan quotes, “membangun negara dengan bahasa agama itu, sebaliknya menghancurkan negara dengan bahasa agama juga mudah”.

Bahasa agama inilah yang mengharuskan Kementerian Agama sebagai representasi negara hadir di tengah umat beragama. Bangsa yang religius sejatinya adalah umat beragama itu sendiri. Maka, tema Hari Amal Bakti ke 78 Kementerian Agama 2024 yaitu “Indonesia Hebat Bersama Umat”, mengukuhkan peran Kemenag dalam hal kemanusiaan, keagamaan dan kebangsaan. Ini juga menjadi jawaban atas pertanyaan, apa peran Kemenag dalam menjaga keutuhan NKRI.

Moderasi Beragama Merawat Indonesia
Penguatan Moderasi Beragama (PMB) saat ini menjadi salah satu program prioritas pemerintah. Bahkan sudah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang PMB. PMB dimaksudkan dalam rangka menghadapi tiga tantangan Indonesia saat ini, yaitu kemanusiaan, keagamaan dan kebangsaan. Terlebih di tahun politik, rawan terjadinya polarisasi antar kelompok yang berbeda. Artinya, kita tidak boleh menyederhanakan masalah dan juga tidak membesar-besarkan masalah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi seperti di Timur Tengah. Mereka bukan karena berbeda agama atau mazhab. Bahkan ada yang satu mazhab dan satu agama dam negara, tetapi masyarakat sulit menemukan kedamaian karena konflik yang dipicu kepentingan politik dan ujungnya mengorbankan nilai kemanusiaan dan kebangsaan.

Berkembangnya semangat beragama yang tidak sejalan dengan kecintaan terhadap NKRI menjadi persoalan serius bagi keutuhan bangsa dan negara. Sampai saat ini meski secara organisasi sudah dibubarkan, masih ada pihak-pihak yang mengkampanyekan sistem negara yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Hal ini didasari atas cara pandang yang salah (mental model) terhadap konsep negara dalam agama. Pihak ini memandang hanya sistem khilafah yang bisa menjadi solusi atas persoalan bangsa. Bahkan dengan bangga membuat jargon, “Khilafah solusi segala persoalan”.

Ada beberapa kegagalpahaman atas konsep ini. Pertama, tidak tepatnya ayat “waidz qala Rabbuka lilmalaikati inni ja’ilun fil ardli khalifah” atau masih debatablenya hadis tentang “khilafah ‘ala mihajin-nubuwah” yang sering digunakan para pengusung, ada beberapa fakta sejarah ya g bisa dibuka. Nabi di Madinah mendirikan negara berdasarkan kesepakatan (darul mitsaq) dengan piagam Madinah. Jika belajar dari konteks ini, Indonesia juga sudah menerapkan meski penggunaan diksi berbeda, Pancasila yang juga hasil kesepakatan.

Kedua, dalam sejarah, Khalifah pada masa Khulafaurrasyidin hanya sampai pada pemerintahan Sayyidina Ali. Itupun berbeda-beda dalam penetapan. Abu Bakar dipilih dengan cara pemilihan. Umar ditunjuk langsung (putra mahkota). Usman dipilih oleh tim formatur. Sedangkan Ali dipilih atas desakan kelompok pendukung di tengah kecamuknya kaum muslimin pasca wafatnya Usman. Dan, lebih ironinya bahwa ketiga khalifah wafat karena dibunuh. Fakta sejarah ini tidak dipungkiri sebagai awal-awal tragedi kemanusiaan berlatar politik.

Ketiga, para pemgusung selalu ingin mengembalikan masa kejayaan Islam atau kondisi ideal seperti masa Abbasyiyah dan Umayah, sementara kala itu bukan sistem khilafah tetapi kerajaan (mamlakah). Maka, jangan heran jika ada meme, “Piye, penak jamanku to?”, itu sejatinya dalam pandangan Sindunata menjadi salah satu penyebab hancurnya bangunan agama oleh umat beragamanya, selain taklid buta kepada pemimpinnya dan tujuan atau esensi dikalahkan cara.

Moderasi Beragama (MB) diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanuaiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Konsep ini dijabarkan menjadi sembilan kata kunci yaitu komimen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, menghormati tradisi, kemanusiaan, adil, berimbang, kemaslahatan umum, dan taat konstitusi.

Moderasi beragama beragama ini harus dipahami oleh umat beragama sebagai sebuah gerakan, bukan sekadar program. Tugas memahamkan dan mengubah pola pikir ini menjadi tanggung jawab bersama antara Kemenag sebagai leading sector dan stakhokder non Kemenag termasuk kelompok masyarakat (civil society) bersama organisasinya. Indonesia bersyukur ada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dan tentu ormas moderat lain yang dengan setia mengawal NKRI.

Bangsa Indonesia juga sudah memiliki modalitas kultur. Jauh sebelum digaungkan kampung moderasi beragama, moderasi beragama dengan 9 indikatornya sudah diterapkan oleh bangsa Indonesia. Kearifan lokal seperti Gotong Royong, “Rukun Agawe Santoso” di Jawa, “Tri Hita Karana” pada masyarakat Bali, “Satu Tungku Tiga Batu” di Papua, “Martutur” pada Masyarakat Batak, “Tabilk Pun” sapaan khas Lampung dan masih banyak lagi tradisi dan budaya lokal menjadi modal penting dalam gerakan moderasi beragama.

Inilah makna kehebatan Indonesia bersama umat. Maka, gerakan moderasi beragama di bawah komando Kementerian Agama yang melibatkan umat beragama sebagai subyek utama, sejatinya dalam rangka merawat Indonesia. Selamat HAB ke-78 Kementerian Agama Republik Indonesia, 3 Januari 2024, “Indonesia Hebat Bersama Umat”.

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara Ahli Madya Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan