Mencontoh Ketawadhuan Sang Guru

Spread the love
C:\Users\NASYIDA\Downloads\img163.jpg

(Dewi Yali Ulwiyah, S.Hum, Guru MAN 4 Jombang)

Pelatihan publikasi ilmiah bagi guru kali ini membawa banyak perubahan dalam diri kami, selaku peserta. Tak dipungkiri, menulis adalah hal yang sulit. Terlebih untuk memulainya. Harus dimulai dari mana?

Tapi, saya rasa beberapa dari kami sebenarnya sudah menjadi penulis hebat, yang tulisannya telah terbit di beberapa jurnal. Ada yang telah menerbitkan buku, pemakalah, dan lain sebagainya. Ternyata para peserta yang notabene sudah hebat ini, tetap mengikuti diklat kepenulisan. Dengan kerendahan hatinya, mengosongkan gelas keilmuannya, untuk kemudian diisi kembali dengan ilmu penulisan yang baru.

Mereka, yang sebenarnya telah mahir menulis ini, dengan rela, mengubur ketenarannya dalam hal kepenulisan untuk kemudian ngangsu kaweruh kepada para pakar kepenulisan yang lain.

C:\Users\NASYIDA\Downloads\IMG20221207093109.jpg

Idfin wujudaka fil ardhil khumul (tanamkanlah kewujudanmu di dalam bumi ketersembunyian), mungkin ungkapan dari Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitab Hikam nya inilah yang paling tepat menggambarkan mereka.

Mereka, para penulis yang mengikuti diklat kepenulisan ini, mempunyai prestasi, tapi mereka simpan untuk mendapatkan prestasi yang lain. Seperti tanaman, ketika kita sudah menjadi buah, sebenarnya di dalam buah itu ada benih lagi yang jika benih itu disembunyikan/ditanam, maka akan menghasilkan banyak buah lagi, yang memberi manfaat lebih banyak. Bisa jadi, bibit dari buah kita ini akan lebih baik dari pada buah kita yang kemarin.

Artinya, dengan menyembunyikan kepopuleran kita, bisa jadi kita akan mendapatkan prestasi yang lebih baik dari sebelumnya. Maka jika kita sudah berada pada tingkat sebagai buah, atau dalam hal ini telah menjadi masyhur, populer, tenar, maka wajib bagi kita untuk tetap bersikap tawadhu’ (rendah hati).

Selanjutnya Ibnu Athaillah menambahkan, fama nabata mimma lam yudfan laa yatimmu natajuh (tidak akan tumbuh biji-bijian dari sesuatu yang tidak ditanam, maka hasilnya tidak akan sempurna, bahkan keluar, lemah, kuning tiada manfaat (biji tersebut))

Artinya, jika kehebatan kita tidak diselimuti dengan sikap rendah hati, maka kehebatan dan ketenaran kita tidak akan berlangsung lama. Seperti sebuah pohon besar yang kokoh dan menghasilkan banyak buah, bermula dari sebuah biji yang ditanam dalam-dalam.

Berbeda jika buah berbiji itu, tak ditanam dalam, maka pohon yang tumbuh tak akan kokoh dan bertahan lama. Bahkan bisa jadi, biji itu tak akan pernah tumbuh menjadi pohon. Sama halnya dengan seseorang yang banyak menunjukkan kepopulerannya dan menyombongkannya. Kepopulerannya hanya akan berlangsung sementara. Ia akan tenggelam sendiri karena dianggap tak menghargai atau bahkan dinilai merendahkan yang lain. Maka, kerendahan hati adalah kunci utama seseorang itu dinilai berharga.

Jika dikerucutkan kembali, kerendahan hati akan bermuara pada keikhlasan. Melalui diklat ini, saya sebagai pemula bisa melihat keikhlasan para guru kami yang notabene telah mahir menulis, dengan ikhlas belajar menulis lagi. Betapa indah saat kami, melihat kerendahan hati mereka. Betapa ini menjadi pemicu semangat kami, untuk meniru ketawadhuannya.

Baca Juga : MENARI MENUMBUHKAN RASA CINTA TANAH AIR

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan