NGAJI SELOSOAN ALA MASJID AL ITTIHAD PERNING

Spread the love
Masjid Al Ittihad Desa Perning Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto

Selasa (9/8) saya ditakdirkan bisa memenuhi undangan ngaji rutinan Selasa di Masjid Al Ittihad Desa Perning Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto. Saya tiba di masjid yang berlokasi dekat pasar Perning itu jelang Isya’. Tampak masjid megah pinggir jalan raya. Logo Nahdatul Ulama tertulis jelas di atas dengan hiasan lampu nan indah. Saya disilakan masuk ruang transit.

Di ruang transit ini saya langsung tertuju pada deretan foto muballigh yang pernah ngisi rutinan ini. Tampak foto da’i kondang seperti Kyai Anwar Zahid, KH. Husein Ilyas, Ust. Sholihin Yusuf, dan beberapa dai yang saya kenal. Ada juga yang belum saya kenal. “Nanti foto jenengan juga saya tempel di sini tadz”, ujar Pak Basori, Ketua Takmir.

Menurut Pak Bas, tujuan ditempelnya foto ini sebagai ‘tetenger’ dan referensi untuk generasi berikutnya biar tidak salah pilih penceramah. Luar biasa pemikiran takmir masjid ini dalam mengantisipasi masuknya dai yang kurang moderat. Mungkin baru kali ini takmir punya ide cerdas ini.

Bendahara masjid mengungkapkan, kegiatan ini semula diragukan bisa berjalan. “Dari mana anggarannya”, ujarnya. Tapi berkat dukungan salah seorang donatur yang ikut menggagas, kegiaatan ngaji rutin berjalan dengan baik.

Rutinan selasa ini sudah dimulai sejak sebelum pandemi, berhenti sejenak karena pandemi. Seiring dengan surutnya pandemi ngaji rutin kembali bergeliat, bahkan semakin banyak mustamiin. Seperti Ngaji Selosoan giliran saya beberapa waktu lalu, ruang utama dan teras dipadati jamaah. Saya merasa terharu dengan banyaknya yang hadir. Padahal saya bukan penceramah kondang. Rupanya semangat ngaji menjadi penyebabnya, bukan siapa yang ngaji.

Di tempat lain, ada sebagian masjid atau panitia tidak mau ngundang muballigh yang tidak terkenal. Bahkan, gengsi jika ngundang penceramah yang kaleng kaleng’. Mereka bangga jika bisa hadirkan muballigh kondang meski dengan biaya besar. Sementara hasilnya tidak signifikan dengan biaya yang dikeluarkan, selain syiar.

Masjid Al Ittihad yang “nota bene” masjid bernadzir NU ini bisa menjadi role model dakwah berbasis kemasjidan, sederhana tapi dikelola secara profesional. Ini bisa dilihat dari cara mengundang dan limit waktu. Uniknya, panitia tidak mengenal saya. Bahkan, hingga kini yang memberi nomor saya juga masih belum saya tahu bertemu saya kapan dan di mana.

Ketika saya ditelpon Pak Basori, saya masih ragu apa betul saya yang dimaksud, soalnya saya tidak mengenal, termasuk pak Hariadi yang memberi nomor juga baru pas ngaji kenalan. Saya dihubungi dua munggu sebelumnya, artinya tidak mendadak. Benar benar direncanakan dengan baik. Panitia dan takmir juga ingin sowan ke rumah, saya bilang tidak perlu karena jauh. Telpon sudah cukup. Saya juga bukan kyai sepuh yang harus diperlakukan lebih.

Inilah yang saya katakan profesional. Ini bisa disebut manajemen dakwah yang penting dimiliki pengurus takmir masjid. Hal Ini menjadikan tingkat kepercayaan masyarakat makin tinggi kepada para khadimul ummah (pelayan masyarakat) dalam konteks ketakmiran.

Baca Juga : Peserta “Shabahul Qira’ah” Kehormatan

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan