“Tabik Pun”, Titik Temu dan “U Process”
Catatan ToT PMB di UIN Raden Intan Lampung

Spread the love
Sholehuddin

Sholehuddin*

Tidak menyangka untuk kali ketiga saya bisa ke Lampung. Kali ini membersamai peserta dalam kegiatan Training of Trainer (ToT) Penguatan Moderasi Beragama (PMB) Universitas Raden Intan Lampung (UIN RIL) di Hotel Emersia (2-7/7/23). Sebelumnya kegiatan yang sana di Hotel Novotel Lampung (19-24/12/22) dan selang beberapa hari Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) di Hotel Emersia Lampung (29-30/12/22).

Ada hal menarik dalam catatan saya, yaitu sapaan khas. Jika di Jawa ada “Permisi, Nyuwon sewu”, di Sunda ada “Sampurasun”, di Lampung ada “Tabik Pun”. Jawabnya, “Iya Pun”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tabik” artinya ungkapan dalam memberikan salam.

Tabik pun yang bertujuan menyapa audien. Sapaan ini menjadi kebiasaan ketika membuka pembicaraan ataupun sambutan seremonial. Setelah mengucapkan “assalamualaikum”, ia mengucapkan “tabik pun”, yang dijawab dengan “iya pun” oleh hadirin. Ucapan tersebut merupakan ciri khas salam masyarakat Lampung.

Dalam perspektif sosiologi, sapaan “Tabik pun” menggambarkan kedekatan antar indifidu. Tidak ada jarak antara yang menyapa dengan yang disapa. Tidak ada kasta antar keduanya.

Selaku ‘tamu’, saya merasa diterima di masyarakat lokal yang 60 % sejatinya memiliki keturunan suku Jawa dan pendatang dari Jawa. Maka, saya merasa di Lampung “nambah seduluran”. Selain itu, para peserta banyak memiliki hubungan historis pendidikan. Bisa dikatakan, para akademisi UIN RIL banyak memiliki nasab keluarga dan sanad keilmuan di Jawa.

Mereka banyak menyelesaikan pendidikan S.1, S.2, dan S.3 di kampus-kampus ternama di Surabaya, Malang, dan Yogyakarta. Kedekatan emosional ini memudahkan komunikasi dan interaksi baik dalam kelas pelatihan maupun di luar kelas pelatihan. Saya bisa “ngopi” dan makan duren “bareng”. Saya juga mendapat hadiah buku dari dua peserta profesor. Satu lagi dari peserta dari UIN KHAS Jember.

Dalam perspektif Moderasi Beragama, sapaan “Tabik pun” bisa menjadi alternatif “titik temu” (kalimatun sawa’) di tengah kemajemukan dan perbedaan. Sebab, sapaan ini lintas agama, suku dan ras. Dalam situasi apapun, jika disapa “Tabik pun”, maka tetap dijawab “, Iya pun”. Ibarat salam, mengucap salam adalah sunnah, menjawabnya adalah ‘wajib’.

Secara esensial, “tabik pun” sejalan dengan Sembilan Kata Kunci Moderasi Beragama yang bisa dikategorikan “kemanusiaan”. Jika bicara kemanusiaan, maka secara universal tidak tersekat dengan ‘tembok’ akidah. Bahwa manusia diciptakan berbeda suku, ras dan bahasa adalah sebuah keniscayaan. Diciptakannya manusia dengan keberagaman, bukan untuk diseragamkan, tetapi agar manusia saling mengenal.

Sebagai upaya melalui “U” process”, hal ini bisa dijadikan mental model baru (rethinking) bahwa “Bersama boleh beda atau beda boleh bersama”. Tabik pun yang sudah menjadi budaya, bisa menjadi alternatif program (redesaining) dalam bentuk “Festival Tabik Pun”, misalnya. Setelah itu kebersamaan harus terus digaungkan agar menjadi trend positif (reframing) di ranah publik.

Alhasil, melalui “Tabik pun”, diharapkan sebuah kondisi masyarakat yang egaliter dan inklusif. Ini yang disebut “reacting”. Dari kondisi ini pula kedamaian dapat dirasakan.

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah widyaiswara BDK Surabaya dan Ketua PC ISNU Sidoarjo. Saat ini mendapat tugas sebagai Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama Pokja Kemenag RI.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan