Buya Syakur, Romo Lutfi dan Pesan Moderasi Beragama di Ruang Publik

Spread the love

Sholehuddin*

Akhir tahun 2023 lalu ada berita mengejutkan, wafatnya Romo Guru KH. Miftahul Lutfi Muhammad. Betapa tidak, Sabtu pagi beliau masih ngaji rutin, malam dini hari (Ahad, 12/11) beliau berpulang. Awal tahun 2024 ini, (Rabu, 17/1) berita duka kembali datang, wafatnya Prof. KH. Abd. Syakur Yasin atau Buya Syakur. Apa yang menarik dari kedua ulama tersebut.?

Jika kita menyimak narasi-narasi dan ceramah atau ngaji kedua pengasuh pesantren tersebut sarat dengan pesan Moderasi Beragama. Pertama belajar dari Romo Lutfi. Beliau menyampaikan, memoderasi beragama kata kuncinya jauhkam simbol, selain Allah (Tuhan) dan Rasulnya. Orang yang masih mempertahankan simbol di dunia ini, entah itu ustadz, kyai, ormas, termasuk agama berarti belum selesai dengan dirinya. Kita sadar, bahwa selama ini konflik inter dan antar umat beragama sering dipicu dari hal-hal remeh atau furu’. Sementara agama itu selain berisi cabang (furu’i) adal yang lebih esensi yaitu pokok (usuli). Qunut dan tidak qunut adalah simbol. Jumlah rakaat tarawih 20 dan 8 adalah simbol. Begitu pula masjid, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya adalah contoh simbol. Kita sering ramai mempermasalahkan jumlah tarawih, sementara masih banyak yang belum melaksanakan tarawih. Meminjam istilah Kyai Nakhai, kita sering menseriusi yang tidak diseriusi Allah, Swt.

Dalam perspektif Sindunata, salah satu pemicu runtuhnya bangunan agama oleh umatnya adalah tujuan dikalahkan cara. Atau bisa dimaknai esensi dikalahkan simbol. Esensi agama mengandung nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, keadilan, dan kasih sayang. Manakala umat beragama masih berdebat dengan simbol, berarti dia lebih mengutamakan cabang ketimbang pokoknya.

Apakah tidak boleh memegangi simbol?. Tentu boleh. Kita boleh berorganisasi apapun, memakai simbol apapun, tetapi yang tidak boleh, menganggap simbolnya lebih keren, dan menyepelekan simbol lain. Moderasi beragama tidak mempermasalahkan simbol apapun, mazhab apapun, dan agama apapun. Moderasi beragama juga tidak mengajak apa lagi memaksa memakai simbol pihak lain. Tetapi, cukup menghormati dan menghargai simbol-simbol mereka dan tidak merendahkan simbol-simbol termasuk sesembahan tertentu (Q.S. Al An’am:108).

Selain pesan tentang simbol, di beberapa pesan moral (quotes), murid Syaikhuna Maimun Zuber dan Gus Mus tersebut juga berpesan, “Ilmu iku luas, luwes lan mendalam. Ojo sampe duweni sikap pathok bangkong diudeng-udengi”. Artinya bahwa, agama itu sarat dengan dalil. Dalil sendiri selain tidak hanya satu juga banyak penafsiran dan penakwilan. Tuhan itu satu, tapi konsep dan perspektif tentang ketuhanan yang berbeda beda. Islam itu satu, tapi ber-Islamnya yang berbeda-beda. Tugas umat cukup beragama sesuai keyakinan masing masing, dan tidak menghakimi cara beragama orang lain, apa lagi agama dan keyakinan umat lain.

Ada lagi pesan beliau, “Bersama Boleh Beda”. Pesan ini relevan dalam situasi apapun, termasuk dalam situasi politik jelng pilpres atau pileg. Berbeda adalah sunnatullah, tapi hidup bersama adalah pilihan yang harus diikhtiarkan. Allah bisa menjadikan umat yang satu tapi itu tidak dikehendaki untuk menguji umat agar berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S. Al- Maidah:48).

Indonesia kaya dengan keragaman suku, agama dan budaya. Tidak ada negara manapun seberagam Indonesia. Keberagaman ini harus disyukuri oleh bangsa Indonesia dengan cara mengelola keberagaman agar tercipta kedamaian bersama. Itulah makna bersama boleh beda. Tentang Indonesia sendiri, Gus Lutfi membuat Quotes, “Kita harus bangga menjadi orang Indonesia”. Pesan ini memperkuat komitmen kebangsaan sebagai salah satu indikator moderasi beragama.

Kedua, Belajar dari Buya Syakur. Senada dengan Romo Lutfi, Buya membuat statemen di media sosial. ” Sebagai santri, jangan berlagak seperti Tuhan. Menjamin seseorang masuk surga”. Ini penting di saat umat beragama menghadapi tantangan klaim kebenaran subyektif, menganggap orang lain salah dan masuk neraka. Itu bukan wilayah manusia. Surga dan neraka itu urusan Tuhan. Kita tidak tahu, jalan (kebaikan) mana yang mengantarkan kita menuju surga. Yang penting kita ambil jalan yang kita yakini benar, tanpa menyalahkan jalan orang lain.

Suara penghakiman (judgement), kebencian (cynicism), ketakutan (fear) acap kali didengar manusia yang mata dan hatinya tertutup swbagaimana teori Three Inner Vices. Mereka ini berada di wilayah “N” (tertutup). Biasanya mereka ini mengunduh, tidak menelaah, tidak merasakan karena tidak hadir (absensing). Tujuannya adalah membinasakan. Tiga suara itu harus dilawan dengan tiga keterbukaan (Three open), yaitu buka pikiran (open mind), buka hati (open heart), dan buka tekad (open will). Wilayah terbuka ini dikenal dengan wilayah “U” (terbuka).

Wilayah terbuka biasanya diawali dengan mengunduh, menelaah dan merasakan dengan kehadirannya (presensing). Mencari titik temu dan ingin menjadi teladan dalam setiap aktifitasnya. Inilah yang dalam Al Quran dikataksn sebagai “Ummatan wasatan litakunu syuhada ‘alannas”. Syuhada’ adalah hadir dan saling menjadi saksi atas kebaikan masing-masing kaum atau manusia (nas). Ini sesuai demgan statemen Buya Syakur yang menegaskan, jika ingin mencari kebenaran (dialog) datanglah ke sini. Bahkan hotel dan transportasi beliau siap membayar. Itulah makna syuhada’ ‘alannas sebagai indikasi ummatan wasatan (umat yang moderat).

Karena itu, meskipun agama ini memiliki misi amar ma’ruf nahi munkar, dakwah harus dengan mendahulukan cara bijak hikmah) dari pada ucapan yang baik sekalipun (maizah hasanah). Seandainya berdebat sebagai jalan terakhir, harus dilakukan dengan cara yang lebih baik (jidalah ahsan), bukan saling mencaci dan menghakimi (judgement).

Agar kita tidak terjebak dengan penghakiman sebagaimana dipesankan buya, maka dalam bertindak gunakan tangga kesimpulan (ladder of inference). Diawali dengan seleksi data, memaknai, mengasumsi dan menyimpulkan, serta meyakini dan bertindak. Setiap anak tangga perlu direfleksi, sudah benarkah data atau dalil kita. Sebab, setiap orang punya ilmu dan pengalaman berbeda sebagai dadar dalam bertindak dan beragama. Maka, refleksi belajar (reflective learning) dilakukan untuk memastikan kebenaran dalam pengalaman dan aksi. Didukung dengan putaran refleksi (reflexive loop) untuk memastikan keyakinan berdasarkan data dan seterusnya yang dimiliki.

Selain itu, kita harus membuang egosentris yang membutakan (bias kognitif). Misalnya mengingat data yang menurutnya cocok dan melupakan data yang tidak sesuai dengan dirinya. Ini yang disebut dengan ‘egocentris memory’. Dalam hal apapun, jika masih ada ego ini, kita akan menjadi ‘bodoh ndadak’. Cara membuang, tentu kembali kepada refleksi pembelajaran dan putaran refleksi. Jika ada sesuatu yang berbeda pemahaman dengan kita, kita harus sadar, ilmu itu luas dan luwes seperti yang didawuhkan Romo Lutfi di atas. Kita hanya pelaksana tafsir keagamaan kata Gus Islah Bahrawi.

Pelajaran penting dari Romo Lutfi dan Buya Syakur pada akhirnya bahwa moderasi beragama sejatinya memanusiakan manusia sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. “Jangan merasa paling ber-Tuhan, sementara pesan Tuhan tentang manusia tidak diindahkan”. Kedua beliau adalah sosok ulama yang terus menyuarakan moderasi beragama di ruang publik. Narasi-narasi beliau ini bisa menjadi reframing, trend baru dalam menghadapi narasi intoleran di media sosial. Selamat jalan, Romo Lutfi dan Buya Syakur. Panjenengan tiang sae. Lahuma Al Fatihah.

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara BDK Surabaya, Inas PMB Kemenag RI, Ketua PC ISNU dan Komisi Fatwa MUI Sidoarjo. Saat ini mengajar di IAI Al Khoziny dan UNUSIDA.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan