“Tabik Pun”, Titik Temu dan “U Process”

Spread the love

Catatan ToT PMB dan PKDP di UIN Raden Intan Lampung

ToT PMB dan PKDP di UIN Raden Intan Lampung

Sholehuddin*

Tidak menyangka dalam dua pekan di akhir tahun 2022 saya bisa ke Lampung dua kali. Pertama Membersamai Training of Trainer (ToT) Penguatan Moderasi Beragama (PMB) Universitas Raden Intan Lampung (UIN RIL) di Hotel Novotel Lampung (19-24/12). Kedua, selang bebetapa hari Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) di Hotel Emersia Lampung (29-30/12).

Ada hal menarik dalam catatan saya, yaitu sapaan khas. Jika di Jawa ada “Permisi, Nyuwon sewu”, di Sunda ada “Sampurasun”, di Lampung ada “Tabik Pun”. Jawabnya, “Iya Pun”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tabik” artinya ungkapan dalam memberikan salam.

Tabik pun yang bertujuan menyapa audien. Sapaan ini menjadi kebiasaan ketika membuka pembicaraan ataupun sambutan seremonial. Setelah mengucapkan assalamualaikum, ia mengucapkan “tabik pun”, yang dijawab dengan “iya pun” oleh hadirin. Ucapan salam tersebut memamg ternyata merupakan ciri khas salam dari Lampung.

Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I Membersamai Training of Trainer (ToT) Penguatan Moderasi Beragama (PMB) Universitas Raden Intan Lampung (UIN RIL) di Hotel Novotel Lampung (19-24/12).

Dalam perspektif sosiologi, sapaan “Tabik pun” menggambarkan kedekatan antar indifidu. Tidak ada jarak antara yang menyapa dengan yang disapa. Tidak ada kasta antar keduanya.

Selaku tamu, saya merasa diterima di masyarakat lokal yang 60 % sejatinya memiliki keturunan suku Jawa dan pendatang dari Jawa. Maka, saya merasa di Lampung “nambah seduluran”. Selain itu, para peserta banyak memiliki hubungan historis pendidikan. Bisa dikatakan, para akademisi UIN RIL banyak memiliki nasab keluarga dan sanad keilmuan di Jawa.

Mereka banyak menyelesaikan S.1, S.2, dan S.3 di kampus-kampus ternama di Surabaya, Malang, dan Yogyakarta. Kedekatan emosional ini memudahkan komunikasi dan interaksi baik dalam kelas pelatihan maupun di luar kelas pelatihan. Saya bisa “ngopi” dan makan duren “bareng”

Dalam perspektif Moderasi Beragama, sapaan “Tabik pun” bisa menjadi alternatif “titik temu” (kalimatun sawa’) di tengah kemajemukan dan perbedaan. Sebab, sapaan ini lintas agama, suku dan ras. Setegang apapun situasi, jika disapa “Tabik pun”, maka tetap dijawab “, Iya pun”. Ibarat salam, mengucap salam adalah sunnah, menjawabnya seolah-olah ‘wajib’.

Baca Juga : Kaban Litbang Diklat Ajak Kampanyekan Moderasi Beragama Melalui Medsos

Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I

Secara esensial, “tabik pun” sejalan dengan Sembilan Kata Kunci Moderasi Beragama yang bisa dikategorikan “kemanusiaan”. Jika bicara kemanusiaan, maka secara universal tidak tersekat dengan ‘tembok’ akidah. Bahwa manusia diciptakan berbeda suku, ras dan bahasa adalah sebuah keniscayaan. Diciptakannya manusia dengan keberagaman, bukan untuk diseragamkan, tetapi agar manusia saling mengenal.

Sebagai upaya melalui “U” process”, hal ini bisa dijadikan mental model baru (rethinking) bahwa “bersama boleh beda atau berbeda boleh bersama”. Tabik pun yang sudah menjadi budaya, bisa menjadi alternatif program (redesaining) dalam bentuk “Festival Tabik Pun”, misalnya. Setelah itu harus terus digaungkan agar menjadi trend positif (reframing) di ranah publik.

Al hasil, melalui “Tabik pun”, diharapkan sebuah kondisi masyarakat yang egaliter dan inklusif. Ini yang disebut “reacting”. Dari kondisi ini pula kedamaian dapat dirasakan. Selamat Tahun Baru 2023 dan HAB Kemenag ke 77.

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah widyaiswara BDK Surabaya dan Ketua PC ISNU Sidoarjo. Saat ini mendapat tugas sebagai Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama Pokja Kemenag RI.

Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I Membersamai Training of Trainer (ToT) Penguatan Moderasi Beragama (PMB) Universitas Raden Intan Lampung (UIN RIL) di Hotel Novotel Lampung (19-24/12).

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan