TITIK TEMU DENGAN PENDEKATAN KOMPROMI

Spread the love

MODERASI BERAGAMA (WASATHIYATUL ISLAM) ALA MASJID MADINA LUHUR

Malam ini, Ahad (3/4/22) saya giliran tarawih di Masjid Madina Luhur Griya Kebraon Surabaya. Ini adalah tarawih kedua sesuai ketetapan pemerintah. Masjid ini lebih dikenal Masjid Luhur. Meski ada tambahan nama Madina, tapi ornanen ‘paimaman’ bergambar dua dimensi (timbul) Ka’bah terbuat dari granit dipadu cat warna emas yang mirip dengan aslinya. Dilengkapi beduk yang cukup besar yang baru dibunyikan jika juma’tan kata Ustadz Muntaha, salah seorang ta’mir.

Saya dijadwal kultum tarawih sejak tahun kemarin seiring dengan semangat wasathiyatul Islam yang tengah didengungkan pengurus masjid. Menurut H. Badulu, ketua ta’mir, semula jama’ah masjid ini kurang kondusif hanya karena dipicu adanya perbedaan atau ikhtilaf. Sekarang, dengan kebesaran hati masing-masing pihak dilakukan kompromi yang telah disepakati.

Seperti yang saya alami ketika bertugas malam itu, rangkaian salat isya, tarawih dan ceramah dilakukan dengan memadukan dua versi, versi A dan B. Setelah adzan tidak ada pujian, cukup salat sunnah. Setelah salat Isya’, imam tetap Ustadz Fatih yang juga teman lama khataman Quran ketika saya masih di pondok 25 tahunan silam tidak mengeraskan suara alias sirri.

Setelah salat sunnat diumumkan petugas kuliah lima belas menit. Saya pun naik mimbar. Mimbar juga perpaduan antara podium (tertutup bagian depan) dengan mimbar (bertingkat) seperti pada umumnya.

Setelah ceramah, bilal memberikan komando, “Shallu ….”. Tarawih dengan 8 rokaat tanpa diselingi bilal tiap salamnya. Tetapi bilal ada tugas tambahan memimpin doa’ tarawih. Setelah itu, bilal kembali memberi komando salat witir. Salat witir tiga rokaat langsung. Dilanjut wirid dan doa witir. Yang unik, setelah niat, ada sebagian jamaah salat sambil jabat tangan dengan sesama jamaah yang ada di samping. Begitulah teknis ibudiah di Masjid Madina Luhur.

Jika melihat empat indikator Moderasi Beragama (MB), oleh Masjid Luhur sudah diterapkan yaitu pertama, Komitmen kebangsaan. Yakni mengikuti undang-undang dan turunannya, termasuk kebijakan pemerintah. Indikasinya ta’mir masjid mengikuti awal Ramadan sesuai ketetapan pemerintah, meskipun diyakini ada yang sudah mendahului.

Kedua, toleransi. Toleransi dapat dilihat dari sikap menghargai perbedaan. Masing-masing pihak makin menampakkan kebesaran hati untuk tidak mengikuti ego masing-masing. Sikap “lana a’maluna wa lakum a’malukum” penting diterapkan sesama internal agama tanpa saling menyalahkan dan merendahkan pihak yang berbeda.

Ketiga, anti kekerasan. Para jamaah menginginkan rasa damai di tengah keberagaman. Ini sekaligus menerapkan salah satu 9 kata kunci selain 4 indikator yaitu kemaslahatan umum. Keempat, menghargai tradisi atau budaya. Bilal tarawih dan beduk sejatinya hanyalah instrumen bersifat tradisi, bukan esensi. Esensinya adalah niat dan pertanda waktu salat.

Titik Temu dengan pendekatan Kompromi semacam ini perlu dijadikan role model. Perbedaan adalah rahmat. Perbedaan juga menjadi sunnatullah. Jika perbedaan yang hanya segelintir itu dinikmati dengan mengutamakan kesamaan yang lebih banyak, saya yakin rahmat Allah diturunkan. Rasa damai dan harmoni akan terwujud. Wallahu A’lam.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan